Kapublik Tebing Tinggi, Terjadi dugaan pelanggaran regulasi terkait masa tugas Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi, dr. Henny Sri Hartati.
Sejak Juli 2023, jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi kosong. Pada tahun yang sama, dr. Henny Sri Hartati diangkat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes), meskipun saat itu ia masih menjabat sebagai Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi.
Hingga memasuki tahun 2025, praktik rangkap jabatan ini masih berlangsung dengan masa tugas dr. Henny Sri Hartati sebagai Plt Kepala Dinas Kesehatan yang sudah mencapai 1 tahun 9 bulan.
Syaiful Fahri, SP, M.Si, Kepala BKPSDM Kota Tebing Tinggi, menjelaskan kepada awak media pada Kamis (27/3/2025) bahwa masa jabatan seorang Plt, menurut Surat Edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 1/SE/I/2021 tanggal 14 Januari 2021, hanya boleh berlangsung selama 3 bulan dan dapat diperpanjang maksimal 3 bulan. Dalam kurun waktu perpanjangan tersebut, seharusnya dilakukan lelang jabatan untuk mengisi posisi definitif setelah masa tugas Plt berakhir, agar tidak menimbulkan kerancuan.
Di sisi lain, dr. Henny Sri Hartati memilih untuk tidak memberikan tanggapan saat dihubungi melalui WhatsApp.
Ratama Saragih, pengamat kebijakan publik dan anggaran, menyatakan bahwa Walikota Tebing Tinggi Terpilih 2024-2029 harus berani mengambil sikap dan keputusan agar kondisi ini tidak berlarut-larut. Menurutnya, praktik ini sudah terbukti melanggar konstitusi dan regulasi yang diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menyatakan bahwa Pelaksana Tugas (Plt) ditugaskan oleh pejabat yang lebih tinggi, dalam hal ini Walikota.
Ratama Saragih menambahkan, Walikota Tebing Tinggi wajib menjaga dan mencegah terjadinya kerugian bagi pihak-pihak tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat (7) UU Nomor 30 Tahun 2014. Pasal ini menyebutkan bahwa pejabat yang memperoleh wewenang sebagai Plt tidak berhak membuat keputusan atau tindakan strategis yang berdampak pada perubahan status hukum dalam aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
Praktik yang melanggar konstitusi dan regulasi ini, menurut Ratama Saragih, juga berpotensi menyebabkan maladministrasi, yang pada gilirannya berdampak buruk pada pelayanan publik di Kota Tebing Tinggi, yang dikenal dengan julukan Kota Lemang.